Keajaiban Lain Itu ..
By : Umayah
“nggak
sekarang hil ..” ucap Yu-ku sedikit bergetar, meskipun aku tak melihat wajahnya
secara langsung, aku tau dia sedang menggigit bibir di sana.
“hmm ..
ya, ga papa” tanganku seakan ingin langsung membanting telefon ini, tapi aku
tak tega.
“yaudah
dik, nanti kalau ada, Yu telfon lagi” katanya.
Dan,
tut .. tut..
Mungkin pulsanya tak cukup untuk sekedar menyampaikan
salamku pada keluarga di seberang sana, setidaknya pada ibuku yang tak pernah
mau memegang handphone itu.
Hmm ..
lagipula sekarang aku sedang tak ingin menangis hanya karena kiriman yang
terlambat tiga bulan itu. Tapi hatiku tetap sakit, mengingat ayahku begitu
cepat angkat kaki dari dunia ini.
Ya, aku
kadang tak ikhlas dilahirkan ke dunia ini lewat orang tua seperti ayahku,
pikirku Beliau tak tau diri, sudah tua masih saja ingin punyai anak! Tak pernah
berfikir usianya sudah tak lama lagi. Dan benar saja, aku menjadi yatim begitu
cepat. Kelas empat SD!
Dengan
warisan kehidupan yang serba nomor dua! Hah, apa ini???
***
Hidupku,
hidup keluargaku tak pernah beranjak naik ke nomor satu. Aku yang hanya anak
dari istri kedua setelah istri pertama ayahku meninggal tak pernah merasakan
manisnya dihargai oleh saudara-saudara dari pihak ayahku. Bahkan itu terbawa ke
sini, ke sebuah pondok pesantren tempat di mana aku menimba ilmu agama.
“Hilwa,
makanmu masih ngutang aja nih?” ujar Fitri sambil cekikikan bersama sekawanan
monster lainnya melihatku makan di meja kantin.
Aku
tersenyum sedikit, memaksa berujar padanya bahwa aku tak mempan ia sakiti.
“memangnya
kenapa? Nanti juga aku bayar” aku membereskan piringku untuk segera kucuci
“lagipula aku nggak mencuri kan?” tambahku
“ya
nggak nyuri, tapi ngutang-! Hahaha …” ia tertawa bagai dunia telah jatuh di
kelingkingnya.
Sekali
lagi aku menahan sakit di ulu hatiku dengan senyuman tipis untuk menyelesaikan
pertemuanku dengannya. Kuurungkan niatku untuk mencuci piring, aku melangkah
menuju penjaga kantin di warung dengan langkah gontai.
“Bu Sur
..” panggilku pelan, dan ia muncul di balik snack yang bergantung-gantung
“ya
Hil, ada apa?” tanyanya lembut seperti ibuku, sosok tua yang kale mini telah
menjadi ibu keduaku di dunia ini
“ibu
nggak papa kan saya utangin terus?” mataku mulai berkaca-kaca
Tiba-tiba
Bu Surminah berpaling membuka pintu warungnya, menghampiriku yang hamper
menangis. Kalau bukan karena rasa malu dan sungkan mungkin sudah kupeluk
tubuhnya yang dipenuhi keriput itu.
“Hilwa
.. kamu ini kenapa tanya seperti itu?” ia meraih tanganku “ibu ini anggaplah
sebagai ibumu sendiri, kamu ini seperti baru kenal ibu saja” senyum tuanya
terdengar menyejukkan jiwaku. Memang tak pernah sekalipun ia menagih hutangku
padanya sampai aku membayarnya tuntas. Dan kini aku seolah lupa bahwa Bu Sur
telah menjadi malaikatku di pondok tanpa satupun keluarga, aku lupa bahwa
manusia juga bisa menjadi seperti malaikat, bahkan melebihi malaikat!
“Hilwa!!”tiba-tiba
seseorang memanggilku dari kejauhan
“Hilwa,
Hilwa!!” nafasnya putus-putus ketika ia sudah sampai di hadapanku karena
berlari
“ada
apa” aku bertanya “kayak dikejar-kejar kolor ijo”
“bukan
bu-bukan” katanya terbata-bata sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah
“bukan kolor ijo hil, tapi aku baru saja baca berita terbaru!” wajahnya
sumringah
“memangnya
berita apa?” tanyaku
“kampus
favorit di sebrang pondok kita ngadain lomba tulis antar kampus sekabupaten,
kategorinya macam-macam, mungkin kamu bisa bikin cerpen ato nggak ya puisi,
setidaknya kamu ikut aja dulu, hadiahnya lumayan besar hil” sejenak ia
berhenti, agak ragu sepertinya untuk meneruskan, tapi ia melanjutkan “mungkin
kalau kamu menang akan cukup buat bantu biaya pondok dan kuliah kamu” kali ini
suaranya sedikit rendah dari sebelumnya.
Tini,
sahabat gendut pengertian yang dianugerahkan Tuhan padaku ini memang makhluk
ajaib, selalu datang di saat hatiku terpasang ataupun retak, aku selalu
bersyukur di sampingnya.
“kamu
yakin banget aku bakal ikut?” namun aku sangsi dengan kemampuanku
Tini
menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab putih
“sudah,
ikut saja siapa tau dapat kan Alhamdulillah ..” Bu Sur yang di sampingku
menyambung pembicaraan kami
“iya,
hil aku yakin kamu bisa kok ..” kata Tini mencoba meyakinkanku
Aku
mendesah, bingung. Sedangkan aku hanya menulis untuk diriku sendiri di buku
harian yang diam-diam dibaca Tini, tak pernah sekalipun aku mengirimnya pada
media.
Tini
menagkap raut wajahku dipenuhi ketidakyakinan. Kulirik Bu Sur yang tersenyum,
raut tuanya memancarkan energi seorang ibu pada sendi-sendi semangatku,
bergantian dengan Tini
Ia
meraih bahuku, mengguncangnya “ini saatnya kamu muncul ke daratan hil, setelah
sekian lama kamu bersembunyi di balik
kerang bersama mutiaramu di dalam laut”
***
Dari
kecil aku dididik ibuku agar selalu
bersyukur, sadar akan kehidupan nomor dua yang didapatnya dari ayahku. Banyak
orang bertanya, kenapa keluargaku begitu melarat adanya? Sedangkan ayahku
adalah seorang kyai? Aku tak pernah mencoba untuk menjawabnya sendiri, karena
aku tau mereka sebenarnya sudah tau alasannya. Sebenarnya aku tak terlalu
pusing dengan kehidupan nomor dua ini,
yang kupikirkan adalah aku tak habis pikir dengan pikiran ayahku yang sudah
meninggal sepuluh tahun yang lalu itu. Setiap tahun saat aku pulang untuk
merayakan idul fitri selalu saja ada orang asing, dua atau tiga yang memberiku
uang seratus duaratus bahkan sampai limaratus ribu!
Sampai
suatu hari ibu memergogi aku tengah menerima uang tigaratus ribu setelah
beberapa kali kucoba menolak. Ibu diam saja sampai orang itu pergi.
“Hilwa”
panggilnya tetap lembut
“ya
bu?” aku menghampirinya “ada orang ngasih ini buat hilwa, tapi hilwa gak tau
dia siapa” ujarku polos sambil menunjukkan uang itu
“kamu
tau hil?” kata-katanya menggantung “itu hakikinya bukan untuk kamu”
Aku
tercekat, “lalu bu?”
“itu-“
ibu menunjuk ke arah barat rumah kami, ya itu makam ayahku yang setiap hari tak
pernah sepi dikunjungi orang
“untuk
ayahmu”
Aku tau
ibu sangat mencintai ayah, buktinya ia tak pernah menikah lagi setelah
ditinggal ayah, meskipun usianya masih pantas untuk menikah lagi. Tapi kali ini
cintanya padaku terlihat sedikit memudar, aku merasa aku adalah beban hidupnya
yang hampir tak tertanggungkan. Apa maksud ibu mengatakan itu padaku?
Apa
pula yang dipikirkan ayah sebelum ia benar-benar yakin akan mempunyai anak aku?
Apakah ini salah satu rencana ayah untuk menghidupiku dari tangan orang lain?
Ataukah rencana Tuhan?
Aku
benar-benar tak habis pikir.
***
Baru
saja Yu-ku selesai menelpon dengan membawa kekecewaan harapanku sekali lagi bel
panggilan berbunyi, nyaring sekali ..
Awalnya
kukira itu bel panggilan biasa, namun beberapa detik prasangkaku berubah,
“nama-nama
berikut dimohon menghadap ke kantor segera .. Ma’rifah, Syifau fauzi, Hilwa
maharotun nisa’ ..”
Deg,
Tanggal
berapa ini?
Mendadak dadaku bergemuruh campuraduk antara gusar dan
cemas. Sekali lagi panggilan itu berulang. Aku tak tau apa yang akan terjadi
jika bendahara pondok menagih uang bayaran yang tiga bulan belum kutuntaskan
itu.
Aku bingung. Aku terduduk begitu saja di kursi panjang
sebelah ruang penelponan. Keringat dinginku perlahan mengaliri dahi kananku.
Apa yang harus kulakukan?
Kepalaku berputar.
***
“hilwa, kami tau kamu belum dapat kiriman untuk melunasi
tagihan-tagihan ini” mbak Zaky, bendahara pondok menatap lurus ke arah mataku,
ia mendesah “tapi sebentar lagi ujian, dan ini adalah salah satu syarat kamu
ikut ujian madrasah”
Akupun menunduk, menekuri jari-jariku di pangkuan. Mulutku
bungkam seribu kata. Yu baru saja memberitahuku untuk bersabar dan tak berharap lebih dari hasil panen ibuku di
kampong. Bagaimana aku menjelaskan semua ini? Sedangkan pondok tak memberikan
dispensasi apapun untuk masalahku.
“hilwa” lanjutnya, “bagaimana kalau kamu pinjam punya mbak
dulu?” tawaran itu bagai setetes embun dari surga. Sejenak kepalaku dingin
dibuatnya,
Namun pikiran lainnya menyahut begitu cepat, aku tak akan
sanggup membayar hutangku padanya dengan cepat, dan aku tau mbak Zaky juga
membutuhkan uang itu untuk keperluan hidupnya di pondok. Senyumku yang
menyembul pudar kembali.
Dengan halus kutolak tawaran darinya
“nggak mbak, nggak usah” leherku terasa dicekoki biji
kedondong
“lho, kenapa?” tanyanya heran “saya nggak papa kok”
“nggak nggak , nanti insya Allah saya akan bayar secepatnya
sebelum ujian”
Mbak Zaky diam, mungkin ia memang tak yakin dengan
kata-kataku, namun aku terus berusaha meyakinkannya
“iya mbak, insya Allah secepatnya. Saya mohon undur diri
dulu”
Aku menunggu jawaban
“baiklah”
Dan aku tak mengerti dengan keputusanku sendiri.
***
Ujian madrasah
tinggal menghitung hari, tapi uang itu belum juga berada di tanganku. Memang
aku mengharap keajaiban datang tiba-tiba, dan aku tau keajaiban hanya datang
dengan usaha-usaha
Lalu apa usahaku?
Hari-hariku dipenuhi kebingunga. Di sisi lain aku belajar
lebih giat untuk mempersiapkan diri menuju ujian madrasah, di sisi lain pula
aku merasa tak ada gunanya aku belajar jika pada akhirnya aku tak bisa ikut
ujian.
Tapi, apakah belajarku hanya untuk ujian?
Maka, aku terus belajar sampai hari itu tiba ..
“duaaarrrr!!!!” Tini mendorong tubuhku dari belakang sedikit
keras, hampir saja jantungku meloncat keluar dibuatnya
“tini …!!!” rintihku sambil mengusap dada
Ia tertawa renyah “maaf .. maaf .. hahaha”
“kebiasaan!”
“maaf ..”dia nyengir “eh gimana, jadi bikin cerpen atau
puisi?”
Sejenak aku bingung dengan pertanyaannya, cerpen? Puisi?
Aishh … aku menepuk dahiku
“hmm .. hilwa .. gimana siiihh ..?? dua hari lagi
deadlinenya! Kamu lupa?!” serbumya tanpa ampun
“aduuh .. maaf maaf, aku bener-bener lupa Tin”
“apa
perlunya minta maaf sama aku? Cepet garap!” hentaknya meraih kedua bahuku
“i-iya
iya” kataku terbata “tapi ..” aku belum yakin
“tapi
apa?! Gak ada kata tapi bagi orang yang belum mencoba”
Kata-kata
tini tepat sekali untuk menjawab pikiranku yang baru saja bertanya, apa aku
bias?
“tunggu
apalagi?” ia menyodorkan laptopnya padaku “ayo sekarang!”
Dan aku
melakukan semua perkataannya.
***
Siang
malam aku tak lepas dari laptop Tini kecuali waktu shalat dan kegiatan pondok,
tentu saja di ruangan yang sama, karena selama aku memegang laptop aku tak
boleh keluar dari ruangan khusus komputer. Kata demi kata kutulis dengan
hati-hati, ini tulisan pertamaku yang akan menentukan sedikit langkah di
hidupku, aku tak ingin munafik .. bahkan jika aku harus jujur, tulisan ini
kutulis untuk hadiah itu. Salahkah aku? Meskipun aku tau dalam pertandingan
pasti ada kalah dan menang. Pikiranku dipenuhi oleh hararapan ..
Mungkin
saja dengan ini aku bisa ikuti ujian dengan tenang. Kenapa tidak mungkin?
Dadaku
bergemuruh kencang saat kami, beberapa utusan kampus menginjakkan kaki di
gedung kampus favorit yang mengadakan lomba itu
Tini
yang selalu memegang tanganku berkata “menang kalah yang penting kamu sudah
berusaha” lalu ia menyunggingkan senyum
Benar
begitu, tapi entah mengapa aku berharap lebih dalam lomba ini. Akupun berdoa
dalam hati, ya- berdoa, bukankah doa adalah harapan?
“jadi kamu
juga ikut?”suara itu seperti tertuju padaku. Fitri, dia sudah datang lebih awal
dari rombongan. Aku baru tau kalau dia juga ikut.
Dia
mencibir “emang bisa nulis?”
Tini
memelototinya,
Namun
Fitri yang kini datang sendiri tanpa gerombolannya itu hanya tersenyum sinis
lalu kembali fokus pada acara.
Aku tau
fitri adalah anggota Pers kampus, tulisannya sudah taka sing lagi di mata
teman-teman mahasiswa, dan untuk saat ini nyaliku sedikit menciut. Tapi aku
piker jika bukan aku yang menang, setidaknya kampusku mempunyai kesempatan
besar untuk menang lewat tangan Fitri. Aku berbaik sangka, namun tetap
berharap.
Beberapa
menit terlewat dengan acara-acara tersusun. Kini tiba saatnya pegumuman itu,
pengumuman yang dinanti-nanti seluruh manusia di dalam gedung kampus ini. Satu
persatu juara diumumkan dengan kategori
yang berbeda-beda, hingga nama :fitri yuliana” disebutkan dalam kategori
karya ilmiyah.
Aku
lega sekaligus resah. Lega karena setidaknya untuk saat ini kampusku harum
namanya oleh tangan Fitri. Resah karena mula-mula virus ketidakyakinanku
menjalar dari ujung kaki dengan kencang, tak bisa kucegah. Rasanya aku terlalu
kerdil di ruangan ini, ruangan yang dipenuhi orang-orang pandai menulis.
“kategori
cerpen ..”
Jantungku
seperti mau meledak, suara serak dalam sound itu membacakan satu persatu
pemenang kategori cerpen.
Aku
menunggu? Tentu. Harapan tiga .. dua .. satu .. juara tiga ..sampai nominasi
juara kedua disebut .. namaku tak sekalipun terdengar ..
“juara
satu kategori cerpen, diraih oleh ..”
Aku
menutup mataku.
“WA
TINII ..!!”
Sejenak
waktu seakan berhenti, perlahan kurasakan genggaman Tini merenggang dari
tanganku, dan lepas ..
“waah
..” Tini mengusap wajahnya seperti orang habis berdoa berkali-kali. Wajahnya
cerah secerah mentari. Aku ikut merasakan kebahagiaannya
Tini
juara satu, pikirku. Aku tersenyum saat teman-teman menyalaminya. Tak ada yang
perlu kucemaskan lagi. Karena doaku telah terjawab, aku belum bisa menulis
dengan baik. Sebenarnya ini sudah jelas perkiraanku, tini yang pandai menulis
tak mungkin tak jadi juara. Kejadian klise yang sungguh membuatku malu pada
diriku sendiri. Seharusnya aku sadar, semangat Tini yang tak henti mendukungku,
genggamannya yang erat di tanganku hakikatnya bukan untukku, tapi untuk dirinya
sendiri.
Aku
masih menunggu,
Menunggu
takdir mengangkat bibirku untuk tersenyum.
Senyum
yang sebenarnya.
***
Hujan
turun begitu deras, membuat sampah yang telah terkumpul buyar dihanyut air. Aku
yang sedang menyapu ruang tamu berlari menuju ruang tamu untuk berlindung. Huft
.. setengah lagi pekerjaanku akan selesai Tuhan berkehendak lain. Namun aku
menikmati pemberianNya.
Kutadahkan
tangan kananku lurus di bawah ujung atap ruang tamu, sedang tangan kiriku masih
memegang sapu lidi.
“Allahumma
Shayyiban nafi’an ..” gumamku
Tiba tiba
Tini sudah berdiri di sampingku, menirukan gayaku menadahkan tangan, dan
berucap .. “Amien ..” aku tersenyum dibuatnya.
“kamu
di sini?” tanyaku retoris
“memangnya
kenapa? Aku dijenguk ibu kok”
“ibu?”
“iya,
ayo ikut-“ dia meraih tanganku yang masih memegang sapu “aku ke sini disuruh
ibu ngajak kamu”
“oh
ya?”
“iya!”
Tak
jauh dari pintu ibunya duduk tenang bersama dua keranjang makanan di
sampingnya.
Aku
segera menyalami tangannya. Baru kali ini aku bertemu ibu Tini, sosok begitu
teduh dan tenang. Namun reaksinya sungguh tak kuduga sebelumnya. Ibu Tini
menyentuh pipiku lama.
“persis”
bisiknya hampir tak terdengar
Aku
bingung
“kamu
Hilwa Maharotun Nisa’ kan? Anak Kyai Anwar Sumberjambi?” tanyanya
Bagaimana
bisa beliau tau nama lengkapku? Tau ayahku pula! Sedangkan ini kali pertama
kami bertemu
Aku
menoleh ke arah Tini meminta jawaban, tapi dia hanya mengangkat bahu tanda tak
tau.
Aku
mengangguk,
Lalu
ibu Tini mencium pipi kananku
“yang
sabar ya nak .. Allah itu Maha baik, tidak mungkin Dia tidak tau apa yang
terbaik untuk kamu dan keluargamu”
Aku
belum memahami makna tersirat dari kata katanya, lagipula dari mana beliau tau
keadaan keluargaku yang serba nomor dua itu?
Tiba
tiba tangannya meraih tanganku untuk memberikan beberapa lembar uang
Tentu
saja aku menolaknya berkali-kali sampai beliau meyakinkanku untuk menerimanya
Tini
dibuat bungkam kejadian ini
Akhirnya
aku menerima uang itu dengan terpaksa
Perlahan
obrolan di antara kami mengalir –obrolan hangat di tengah dinginnya udara yang
ditimbulkan hujan.
Aku
menatap ke luar jendela, memandangi hujan. Kejadian ini membuatku ingat pada
orang-orang yang memberiku uang saat Idul Fitri di rumah sana.
Kata kata ibuku masih terngiang jelas
“hakikatnya bukan untuk kamu ..”
Hmm ..
Adakah ini adalah keajaiban lain untuk menjawab usahaku
bertahan dan bersabar menuju ujian? Benarkah ini rencana ayah untuk
menghidupiku dari tangan orang lain dengan namanya, sedangkan dia
meninggalkanku ke alam barzah?
Benarkah ini rencana ayah?
Ataukah rencana Tuhan?
Lirboyo
07.53
Selasa,
31 januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar