Minggu, 10 Mei 2015

CERITA PENDEK




Keajaiban Lain Itu ..
By : Umayah
“nggak sekarang hil ..” ucap Yu-ku sedikit bergetar, meskipun aku tak melihat wajahnya secara langsung, aku tau dia sedang menggigit bibir di sana.
“hmm .. ya, ga papa” tanganku seakan ingin langsung membanting telefon ini, tapi aku tak tega.
“yaudah dik, nanti kalau ada, Yu telfon lagi” katanya.
Dan, tut .. tut..
Mungkin  pulsanya tak cukup untuk sekedar menyampaikan salamku pada keluarga di seberang sana, setidaknya pada ibuku yang tak pernah mau memegang handphone itu.
Hmm .. lagipula sekarang aku sedang tak ingin menangis hanya karena kiriman yang terlambat tiga bulan itu. Tapi hatiku tetap sakit, mengingat ayahku begitu cepat angkat kaki dari dunia ini.
Ya, aku kadang tak ikhlas dilahirkan ke dunia ini lewat orang tua seperti ayahku, pikirku Beliau tak tau diri, sudah tua masih saja ingin punyai anak! Tak pernah berfikir usianya sudah tak lama lagi. Dan benar saja, aku menjadi yatim begitu cepat. Kelas empat SD!
Dengan warisan kehidupan yang serba nomor dua! Hah, apa ini???
***
Hidupku, hidup keluargaku tak pernah beranjak naik ke nomor satu. Aku yang hanya anak dari istri kedua setelah istri pertama ayahku meninggal tak pernah merasakan manisnya dihargai oleh saudara-saudara dari pihak ayahku. Bahkan itu terbawa ke sini, ke sebuah pondok pesantren tempat di mana aku menimba ilmu agama.
“Hilwa, makanmu masih ngutang aja nih?” ujar Fitri sambil cekikikan bersama sekawanan monster lainnya melihatku makan di meja kantin.
Aku tersenyum sedikit, memaksa berujar padanya bahwa aku tak mempan ia sakiti.
“memangnya kenapa? Nanti juga aku bayar” aku membereskan piringku untuk segera kucuci “lagipula aku nggak mencuri kan?” tambahku
“ya nggak nyuri, tapi ngutang-! Hahaha …” ia tertawa bagai dunia telah jatuh di kelingkingnya.
Sekali lagi aku menahan sakit di ulu hatiku dengan senyuman tipis untuk menyelesaikan pertemuanku dengannya. Kuurungkan niatku untuk mencuci piring, aku melangkah menuju penjaga kantin di warung dengan langkah gontai.
“Bu Sur ..” panggilku pelan, dan ia muncul di balik snack yang bergantung-gantung
“ya Hil, ada apa?” tanyanya lembut seperti ibuku, sosok tua yang kale mini telah menjadi ibu keduaku di dunia ini
“ibu nggak papa kan saya utangin terus?” mataku mulai berkaca-kaca
Tiba-tiba Bu Surminah berpaling membuka pintu warungnya, menghampiriku yang hamper menangis. Kalau bukan karena rasa malu dan sungkan mungkin sudah kupeluk tubuhnya yang dipenuhi keriput itu.
“Hilwa .. kamu ini kenapa tanya seperti itu?” ia meraih tanganku “ibu ini anggaplah sebagai ibumu sendiri, kamu ini seperti baru kenal ibu saja” senyum tuanya terdengar menyejukkan jiwaku. Memang tak pernah sekalipun ia menagih hutangku padanya sampai aku membayarnya tuntas. Dan kini aku seolah lupa bahwa Bu Sur telah menjadi malaikatku di pondok tanpa satupun keluarga, aku lupa bahwa manusia juga bisa menjadi seperti malaikat, bahkan melebihi malaikat!
“Hilwa!!”tiba-tiba seseorang memanggilku dari kejauhan
“Hilwa, Hilwa!!” nafasnya putus-putus ketika ia sudah sampai di hadapanku karena berlari
“ada apa” aku bertanya “kayak dikejar-kejar kolor ijo”
“bukan bu-bukan” katanya terbata-bata sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah “bukan kolor ijo hil, tapi aku baru saja baca berita terbaru!” wajahnya sumringah
“memangnya berita apa?” tanyaku
“kampus favorit di sebrang pondok kita ngadain lomba tulis antar kampus sekabupaten, kategorinya macam-macam, mungkin kamu bisa bikin cerpen ato nggak ya puisi, setidaknya kamu ikut aja dulu, hadiahnya lumayan besar hil” sejenak ia berhenti, agak ragu sepertinya untuk meneruskan, tapi ia melanjutkan “mungkin kalau kamu menang akan cukup buat bantu biaya pondok dan kuliah kamu” kali ini suaranya sedikit rendah dari sebelumnya.
Tini, sahabat gendut pengertian yang dianugerahkan Tuhan padaku ini memang makhluk ajaib, selalu datang di saat hatiku terpasang ataupun retak, aku selalu bersyukur di sampingnya.
“kamu yakin banget aku bakal ikut?” namun aku sangsi dengan kemampuanku
Tini menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab putih
“sudah, ikut saja siapa tau dapat kan Alhamdulillah ..” Bu Sur yang di sampingku menyambung pembicaraan kami
“iya, hil aku yakin kamu bisa kok ..” kata Tini mencoba meyakinkanku
Aku mendesah, bingung. Sedangkan aku hanya menulis untuk diriku sendiri di buku harian yang diam-diam dibaca Tini, tak pernah sekalipun aku mengirimnya pada media.
Tini menagkap raut wajahku dipenuhi ketidakyakinan. Kulirik Bu Sur yang tersenyum, raut tuanya memancarkan energi seorang ibu pada sendi-sendi semangatku, bergantian dengan Tini
Ia meraih bahuku, mengguncangnya “ini saatnya kamu muncul ke daratan hil, setelah sekian lama kamu  bersembunyi di balik kerang bersama mutiaramu di dalam laut”
***
Dari kecil aku  dididik ibuku agar selalu bersyukur, sadar akan kehidupan nomor dua yang didapatnya dari ayahku. Banyak orang bertanya, kenapa keluargaku begitu melarat adanya? Sedangkan ayahku adalah seorang kyai? Aku tak pernah mencoba untuk menjawabnya sendiri, karena aku tau mereka sebenarnya sudah tau alasannya. Sebenarnya aku tak terlalu pusing dengan  kehidupan nomor dua ini, yang kupikirkan adalah aku tak habis pikir dengan pikiran ayahku yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu itu. Setiap tahun saat aku pulang untuk merayakan idul fitri selalu saja ada orang asing, dua atau tiga yang memberiku uang seratus duaratus bahkan sampai limaratus ribu!
Sampai suatu hari ibu memergogi aku tengah menerima uang tigaratus ribu setelah beberapa kali kucoba menolak. Ibu diam saja sampai orang itu pergi.
“Hilwa” panggilnya tetap lembut
“ya bu?” aku menghampirinya “ada orang ngasih ini buat hilwa, tapi hilwa gak tau dia siapa” ujarku polos sambil menunjukkan uang itu
“kamu tau hil?” kata-katanya menggantung “itu hakikinya bukan untuk kamu”
Aku tercekat, “lalu bu?”
“itu-“ ibu menunjuk ke arah barat rumah kami, ya itu makam ayahku yang setiap hari tak pernah sepi dikunjungi orang
“untuk ayahmu”
Aku tau ibu sangat mencintai ayah, buktinya ia tak pernah menikah lagi setelah ditinggal ayah, meskipun usianya masih pantas untuk menikah lagi. Tapi kali ini cintanya padaku terlihat sedikit memudar, aku merasa aku adalah beban hidupnya yang hampir tak tertanggungkan. Apa maksud ibu mengatakan itu padaku?
Apa pula yang dipikirkan ayah sebelum ia benar-benar yakin akan mempunyai anak aku? Apakah ini salah satu rencana ayah untuk menghidupiku dari tangan orang lain? Ataukah rencana Tuhan?
Aku benar-benar tak habis pikir.
***
Baru saja Yu-ku selesai menelpon dengan membawa kekecewaan harapanku sekali lagi bel panggilan berbunyi, nyaring sekali ..
Awalnya kukira itu bel panggilan biasa, namun beberapa detik prasangkaku berubah,
“nama-nama berikut dimohon menghadap ke kantor segera .. Ma’rifah, Syifau fauzi, Hilwa maharotun nisa’ ..”
Deg,
Tanggal berapa ini?
Mendadak dadaku bergemuruh campuraduk antara gusar dan cemas. Sekali lagi panggilan itu berulang. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika bendahara pondok menagih uang bayaran yang tiga bulan belum kutuntaskan itu.
Aku bingung. Aku terduduk begitu saja di kursi panjang sebelah ruang penelponan. Keringat dinginku perlahan mengaliri dahi kananku. Apa yang harus kulakukan?
Kepalaku berputar.
***
“hilwa, kami tau kamu belum dapat kiriman untuk melunasi tagihan-tagihan ini” mbak Zaky, bendahara pondok menatap lurus ke arah mataku, ia mendesah “tapi sebentar lagi ujian, dan ini adalah salah satu syarat kamu ikut ujian madrasah”
Akupun menunduk, menekuri jari-jariku di pangkuan. Mulutku bungkam seribu kata. Yu baru saja memberitahuku untuk bersabar dan  tak berharap lebih dari hasil panen ibuku di kampong. Bagaimana aku menjelaskan semua ini? Sedangkan pondok tak memberikan dispensasi apapun untuk masalahku.
“hilwa” lanjutnya, “bagaimana kalau kamu pinjam punya mbak dulu?” tawaran itu bagai setetes embun dari surga. Sejenak kepalaku dingin dibuatnya,
Namun pikiran lainnya menyahut begitu cepat, aku tak akan sanggup membayar hutangku padanya dengan cepat, dan aku tau mbak Zaky juga membutuhkan uang itu untuk keperluan hidupnya di pondok. Senyumku yang menyembul pudar kembali.
Dengan halus kutolak tawaran darinya
“nggak mbak, nggak usah” leherku terasa dicekoki biji kedondong
“lho, kenapa?” tanyanya heran “saya nggak papa kok”
“nggak nggak , nanti insya Allah saya akan bayar secepatnya sebelum ujian”
Mbak Zaky diam, mungkin ia memang tak yakin dengan kata-kataku, namun aku terus berusaha meyakinkannya
“iya mbak, insya Allah secepatnya. Saya mohon undur diri dulu”
Aku menunggu jawaban
“baiklah”
Dan aku tak mengerti dengan keputusanku sendiri.
***
Ujian  madrasah tinggal menghitung hari, tapi uang itu belum juga berada di tanganku. Memang aku mengharap keajaiban datang tiba-tiba, dan aku tau keajaiban hanya datang dengan usaha-usaha
Lalu apa usahaku?
Hari-hariku dipenuhi kebingunga. Di sisi lain aku belajar lebih giat untuk mempersiapkan diri menuju ujian madrasah, di sisi lain pula aku merasa tak ada gunanya aku belajar jika pada akhirnya aku tak bisa ikut ujian.
Tapi, apakah belajarku hanya untuk ujian?
Maka, aku terus belajar sampai hari itu tiba ..
“duaaarrrr!!!!” Tini mendorong tubuhku dari belakang sedikit keras, hampir saja jantungku meloncat keluar dibuatnya
“tini …!!!” rintihku sambil mengusap dada
Ia tertawa renyah “maaf .. maaf .. hahaha”
“kebiasaan!”
“maaf ..”dia nyengir “eh gimana, jadi bikin cerpen atau puisi?”
Sejenak aku bingung dengan pertanyaannya, cerpen? Puisi?
Aishh … aku menepuk dahiku
“hmm .. hilwa .. gimana siiihh ..?? dua hari lagi deadlinenya! Kamu lupa?!” serbumya tanpa ampun
“aduuh .. maaf maaf, aku bener-bener lupa Tin”                                                              
“apa perlunya minta maaf sama aku? Cepet garap!” hentaknya meraih kedua bahuku
“i-iya iya” kataku terbata “tapi ..” aku belum yakin
“tapi apa?! Gak ada kata tapi bagi orang yang belum mencoba”
Kata-kata tini tepat sekali untuk menjawab pikiranku yang baru saja bertanya, apa aku bias?
“tunggu apalagi?” ia menyodorkan laptopnya padaku “ayo sekarang!”
Dan aku melakukan semua perkataannya.
***
Siang malam aku tak lepas dari laptop Tini kecuali waktu shalat dan kegiatan pondok, tentu saja di ruangan yang sama, karena selama aku memegang laptop aku tak boleh keluar dari ruangan khusus komputer. Kata demi kata kutulis dengan hati-hati, ini tulisan pertamaku yang akan menentukan sedikit langkah di hidupku, aku tak ingin munafik .. bahkan jika aku harus jujur, tulisan ini kutulis untuk hadiah itu. Salahkah aku? Meskipun aku tau dalam pertandingan pasti ada kalah dan menang. Pikiranku dipenuhi oleh hararapan ..
Mungkin saja dengan ini aku bisa ikuti ujian dengan tenang. Kenapa tidak mungkin?
Dadaku bergemuruh kencang saat kami, beberapa utusan kampus menginjakkan kaki di gedung kampus favorit yang mengadakan lomba itu
Tini yang selalu memegang tanganku berkata “menang kalah yang penting kamu sudah berusaha” lalu ia menyunggingkan senyum
Benar begitu, tapi entah mengapa aku berharap lebih dalam lomba ini. Akupun berdoa dalam hati, ya- berdoa, bukankah doa adalah harapan?
“jadi kamu juga ikut?”suara itu seperti tertuju padaku. Fitri, dia sudah datang lebih awal dari rombongan. Aku baru tau kalau dia juga ikut.
Dia mencibir “emang bisa nulis?”
Tini memelototinya,
Namun Fitri yang kini datang sendiri tanpa gerombolannya itu hanya tersenyum sinis lalu kembali fokus pada acara.
Aku tau fitri adalah anggota Pers kampus, tulisannya sudah taka sing lagi di mata teman-teman mahasiswa, dan untuk saat ini nyaliku sedikit menciut. Tapi aku piker jika bukan aku yang menang, setidaknya kampusku mempunyai kesempatan besar untuk menang lewat tangan Fitri. Aku berbaik sangka, namun tetap berharap.
Beberapa menit terlewat dengan acara-acara tersusun. Kini tiba saatnya pegumuman itu, pengumuman yang dinanti-nanti seluruh manusia di dalam gedung kampus ini. Satu persatu juara diumumkan dengan kategori  yang berbeda-beda, hingga nama :fitri yuliana” disebutkan dalam kategori karya ilmiyah.
Aku lega sekaligus resah. Lega karena setidaknya untuk saat ini kampusku harum namanya oleh tangan Fitri. Resah karena mula-mula virus ketidakyakinanku menjalar dari ujung kaki dengan kencang, tak bisa kucegah. Rasanya aku terlalu kerdil di ruangan ini, ruangan yang dipenuhi orang-orang pandai menulis.
“kategori cerpen ..”
Jantungku seperti mau meledak, suara serak dalam sound itu membacakan satu persatu pemenang kategori cerpen.
Aku menunggu? Tentu. Harapan tiga .. dua .. satu .. juara tiga ..sampai nominasi juara kedua disebut .. namaku tak sekalipun terdengar ..
“juara satu kategori cerpen, diraih oleh ..”
Aku menutup mataku.
“WA TINII ..!!”
Sejenak waktu seakan berhenti, perlahan kurasakan genggaman Tini merenggang dari tanganku, dan lepas ..
“waah ..” Tini mengusap wajahnya seperti orang habis berdoa berkali-kali. Wajahnya cerah secerah mentari. Aku ikut merasakan kebahagiaannya
Tini juara satu, pikirku. Aku tersenyum saat teman-teman menyalaminya. Tak ada yang perlu kucemaskan lagi. Karena doaku telah terjawab, aku belum bisa menulis dengan baik. Sebenarnya ini sudah jelas perkiraanku, tini yang pandai menulis tak mungkin tak jadi juara. Kejadian klise yang sungguh membuatku malu pada diriku sendiri. Seharusnya aku sadar, semangat Tini yang tak henti mendukungku, genggamannya yang erat di tanganku hakikatnya bukan untukku, tapi untuk dirinya sendiri.
Aku masih menunggu,
Menunggu takdir mengangkat bibirku untuk tersenyum.
Senyum yang sebenarnya.
***
Hujan turun begitu deras, membuat sampah yang telah terkumpul buyar dihanyut air. Aku yang sedang menyapu ruang tamu berlari menuju ruang tamu untuk berlindung. Huft .. setengah lagi pekerjaanku akan selesai Tuhan berkehendak lain. Namun aku menikmati pemberianNya.
Kutadahkan tangan kananku lurus di bawah ujung atap ruang tamu, sedang tangan kiriku masih memegang sapu lidi.
“Allahumma Shayyiban nafi’an ..” gumamku
Tiba tiba Tini sudah berdiri di sampingku, menirukan gayaku menadahkan tangan, dan berucap .. “Amien ..” aku tersenyum dibuatnya.
“kamu di sini?” tanyaku retoris
“memangnya kenapa? Aku dijenguk ibu kok”
“ibu?”
“iya, ayo ikut-“ dia meraih tanganku yang masih memegang sapu “aku ke sini disuruh ibu ngajak kamu”
“oh ya?”
“iya!”
Tak jauh dari pintu ibunya duduk tenang bersama dua keranjang makanan di sampingnya.
Aku segera menyalami tangannya. Baru kali ini aku bertemu ibu Tini, sosok begitu teduh dan tenang. Namun reaksinya sungguh tak kuduga sebelumnya. Ibu Tini menyentuh pipiku lama.
“persis” bisiknya hampir tak terdengar
Aku bingung
“kamu Hilwa Maharotun Nisa’ kan? Anak Kyai Anwar Sumberjambi?” tanyanya
Bagaimana bisa beliau tau nama lengkapku? Tau ayahku pula! Sedangkan ini kali pertama kami bertemu
Aku menoleh ke arah Tini meminta jawaban, tapi dia hanya mengangkat bahu tanda tak tau.
Aku mengangguk,
Lalu ibu Tini mencium pipi kananku
“yang sabar ya nak .. Allah itu Maha baik, tidak mungkin Dia tidak tau apa yang terbaik untuk kamu dan keluargamu”
Aku belum memahami makna tersirat dari kata katanya, lagipula dari mana beliau tau keadaan keluargaku yang serba nomor dua itu?
Tiba tiba tangannya meraih tanganku untuk memberikan beberapa lembar uang 
Tentu saja aku menolaknya berkali-kali sampai beliau meyakinkanku untuk menerimanya
Tini dibuat bungkam kejadian ini
Akhirnya aku menerima uang itu dengan terpaksa
Perlahan obrolan di antara kami mengalir –obrolan hangat di tengah dinginnya udara yang ditimbulkan hujan.
Aku menatap ke luar jendela, memandangi hujan. Kejadian ini membuatku ingat pada orang-orang yang memberiku uang saat Idul Fitri di rumah sana.
            Kata kata ibuku masih terngiang jelas
            “hakikatnya bukan untuk kamu ..”
            Hmm ..
            Adakah ini adalah keajaiban lain untuk menjawab usahaku bertahan dan bersabar menuju ujian? Benarkah ini rencana ayah untuk menghidupiku dari tangan orang lain dengan namanya, sedangkan dia meninggalkanku ke alam barzah?
            Benarkah ini rencana ayah?
            Ataukah rencana Tuhan?




Lirboyo
07.53
Selasa, 31 januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar